Lintastimur.com - Muaro Jambi - Meliyana Mahasiswa Hukum Tata Negara Menuturkan Pendidikan Adalah Hak Konstitusional, Bukan Sekadar Retorika menurut Pasal 31 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan negara wajib membiayai serta menyelenggarakan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalimat itu begitu jelas, begitu tegas, dan tidak bisa ditawar. Namun, pertanyaan mendasarnya: apakah janji konstitusi itu benar-benar diwujudkan?
Realitas di lapangan menjawab dengan getir. Masih banyak anak bangsa yang harus putus sekolah karena kemiskinan. Masih banyak daerah pelosok yang minim fasilitas pendidikan, sementara di kota besar sekolah-sekolah berlomba menaikkan biaya dengan dalih kualitas. Ironisnya, kebijakan negara seringkali lebih sibuk membicarakan kurikulum silih berganti daripada menyelesaikan akar persoalan akses dan kesenjangan pendidikan.
Pendekatan hukum konstitusi mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan sekadar layanan publik, melainkan hak konstitusional. Artinya, negara tidak boleh setengah hati. Setiap anak yang kehilangan haknya atas pendidikan adalah bukti nyata negara gagal memenuhi amanat konstitusi.
Namun, kenyataan sering kali berbeda. Anggaran pendidikan yang dijanjikan 20% dari APBN sering kali tidak berdampak nyata bagi rakyat kecil. Korupsi dana pendidikan, birokrasi berbelit, hingga proyek-proyek yang tidak menyentuh esensi kualitas pembelajaran menjadi wajah buram dunia pendidikan kita. Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi.
Sebagai mahasiswa hukum, saya menolak jika pendidikan terus diperlakukan seperti komoditas. Pendidikan adalah jalan untuk membebaskan manusia dari kebodohan dan penindasan. Tanpa pendidikan, rakyat akan terus terpinggirkan, dan demokrasi hanya akan jadi permainan elit. Maka, ketika hak atas pendidikan diabaikan, sama artinya negara sedang mengabaikan masa depan bangsa.
Kita harus berani bersuara lantang: pendidikan adalah hak, bukan hadiah. Negara tidak boleh berkelit dari kewajibannya. Tidak boleh ada lagi anak bangsa yang gagal bermimpi hanya karena lahir dari keluarga miskin. Tidak boleh ada lagi daerah terpencil yang dibiarkan tanpa guru, tanpa buku, tanpa harapan.
Pendekatan hukum konstitusi menegaskan bahwa setiap kebijakan pendidikan harus diuji dari satu pertanyaan sederhana: apakah ini sudah memenuhi amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Jika jawabannya tidak, maka kebijakan itu bukan hanya keliru, tetapi juga inkonstitusional.
Konstitusi telah memberi jalan. Tugas kita adalah menagih janji itu. Karena pendidikan bukan sekadar soal sekolah, tetapi soal harga diri bangsa. Dan ketika negara gagal memenuhi hak pendidikan rakyatnya, maka sejatinya negara itu sedang mengkhianati konstitusinya sendiri.
*Meliyana* Mahasiswa Hukum Tata Negara
Social Plugin